Oleh: Ketua DPW LDII Kalimantan Barat, Susanto, S.E, M.E
Alhamdulillah. Kata pendek itu, mewakili rasa syukur orang-orang yang beriman yang berlimpah-limpah dengan hadirnya Ramadhan 1443 H atau 2022 M. Bulan Ramadan selalu yang paling istimewa di antara bulan-bulan lain. Dari sisi religius, pada bulan itu, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa.
Puasa memang bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga mengekang hawa nafsu. Hal itu menjadikan hari-hari pada Ramadan, menjadi penuh berkah. Semua orang bersemangat pada hari itu, bahkan para ibu dengan Bahagia memasakkan keluarga untuk sahur dan berbuka. Masak bukan lagi sekadar kegiatan sehari-hari, tapi menopang fisik keluarga agar kuat menjalani ibadah puasa.
Suka cita itu semakin lengkap setelah pemerintah memberi kelonggaran beribadah setelah dua tahun ada pembatasan akibat musibah pandemi Covid 19. Pada saat ada pembatasan aktivitas ibadah, rasanya ada yang kurang sempurna. Masjid menjadi sepi, sehingga hasrat untuk meraih predikat hamba yang takwa serasa sulit tercapai.
Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadan sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 183 ialah agar kita menjadi hamba atau insan yang bertakwa. Sebuah predikat yang oleh Allah dijanjikan dengan kedudukan atau derajat yang mulia baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.
Mengingat dengan ketakwaan seseorang, bukan hanya Allah yang cinta kepadanya, melainkan orang lainpun juga ikut mencintainya karena merasakan manfaat atas diri orang yang bertakwa, salah satunya dapat menjadi sumber datangnya keberkahan Allah SWT (QS. Al A’raf ayat 96).
Namun untuk mendapatkan predikat takwa dalam menunaikan ibadah puasa Ramadan bukanlah sesuatu yang mudah, karena esensinya ibadah puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus dengan meninggalkan makan dan minum. Tetapi juga mampu meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa dan maksiat.
Dalam sebuah hadist diterangkan “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka tidak ada hajat bagi Allah (untuk memberi pahala) dalam meninggalkan makanan dan minuman (berpuasa)”. HR. Bukhori.
Menyangkut perkataan bukan hanya yang bermuatan dusta atau bohong, tetapi juga perkataan jelek lainnya seperti mencaci, merundung, ghibah dan perkataan fitnah.
Riwayat Sunan Abu Daud menjelaskan “Puasa itu perisai (dari siksa neraka), maka janganlah melanggar (ghibah) dan jangan berbuat kebodohan, dan jika ada seseorang mengajak bertengkar atau memaki, maka katakan sesungguhnya aku orang yang berpuasa”.
Hal yang sama juga diriwayatkan dalam Hadist Ibnu Khuzaimah bahwa “Berpuasa itu bukanlah sekedar meninggalkan makan dan minum, akan tetapi berpuasa itu meninggalkan dari lahan (perbuatan yang melupakan diri dari ingat kepada Allah) dan pelanggaran, maka jika seseorang memaki atau berbuat bodoh atas kalian, katakanlah sesungguhnya aku orang yang berpuasa”.
Dari penjelasan beberapa riwayat hadits tersebut, Ramadan merupakan momentum melakukan perbaikan diri dengan cara taqorrub ilallah (lebih mendekatkan diri kepada Allah) yakni menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
Maka menunaikan ibadah puasa Ramadan, merupakan wujud ketakwaan dan sebenar-benarnya takwa, sehingga secara khusus Allah juga memberikan pahala dan derajat bagi orang yang berpuasa, karena dalam sebuah riwayat “Puasa untuk-Ku (Allah), dan Aku (Allah) yang akan membalas atas puasa seseorang” (HR Ibnu Majah).
Sementara nilai atau hikmah lain yang terkandung dari perintah puasa adalah mengajarkan kita untuk melatih kesabaran, kedisplinan, meningkatkan rasa syukur (ridha atas qodar Allah) serta soliditas dan solidaritas sesama umat.
Dengan demikian sikap, perilaku sebagai cerminan insan yang bertakwa tersebut mesti dijalankan secara konsisten (istiqomah) sampai husnul khotimah. Semoga bermanfaat dan barokah. Aamiin. (*)