Ada yang menarik dari undangan Bawaslu kali ini ke LDII. Bawaslu mengundang Kementerian Agama, MUI, ormas-ormas Islam termasuk di dalamnya LDII untuk mendiskusikan dan membahas bagaimana menjaga dan mengawal agar kampanye pada pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) pada tahun politik ini berlangsung bersih dan berkualitas.

Bersih dalam pengertian para pasangan calon, tim sukses, para relawan, dalam menggaet suara rakyat dilakukan tanpa politik (money politics) atau cara-cara yang melanggar peraturan-perundang-undangan.

Sebagaimana diketahui, tahapan kampanye dalam pilkada berlangsung mulai 15 Februari hingga 24 Juni 2018. Sedangkan kampanye untuk pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) baru mulai 23 September 2018 hingga awal April 2019. Sudah ada ketentuan dalam kampanye Pilkada 2018 bahwa calon dan atau tim kampanye, relawan, dan pihak lain dilarang :
1. Menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan (KPU dari pusat hingga daerah) dan pemilih (rakyat yang punya hak pilih) baik secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil walikota, dan atau partai politik.
4. Menggunakan tempat-tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk kampanye politik praktis,
5. Menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk kepentingan kampanye.

Bila pasangan calon (paslon) bersama tim sukses dan relawannya mampu mentaati peraturan dan ketentuan tersebut, maka hasil pilkada boleh dibilang bersih. Nah untuk berkualitas, para paslon beserta rombongannya mampu berkampanye mengedepankan akal budi atau etika politik yang beradab. Ada yang mengatakan dalam kampanye kedepankan “akal” jangan “okol”. Akal umumnya diartikan sebagai nalar, sedangkan okol adalah kekuatan kasar. Gunakan nalar dalam beradu pendapat, jangan dengan mengancam, mengintimidasi, gertak, apalagi kekerasan.

Harapannya melalui nalar, orang atau awam bisa diyakinkan dan akan menerima kampanyenya secara sadar bukan karena ketakutan. Tapi jangan pula kampanye dengan akal-akalan. Akal-akalan cenderung mengandung upaya atau kepintaran yang memperdaya.

Saya teringat mungkin ini petuah Jawa yang berkaitan dengan bagaimana melatih kemampuan nalar ‘bertautan’ dengan melatih ‘kalbu’, hati nurani, dan jasmani. ‘Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling’ yang artinya, “Biasakanlah engkau melatih kalbu, agar tajam dan cerdas menangkap tanda dan gejala. Jangan hanya makan-minum. Bersikap perwira adalah menggembleng tubuh; kurangilah makan dan tidur”.

Intinya, kampanye sebaiknya bukan sekedar retorika yang cuma enak didengar, merayu orang sedemikian rupa untuk memilihnya tapi jauh dari kebenaran. Memang asyik mendengar pidato kampanye para singa podium, bisa mengobarkan gelora pendengarnya, bisa terbawa hanyut dalam ucapannya, bertepuk tangan, malah kadang ‘janji diumbar, tanpa batas’. Tapi sebenarnya tak jelas benar betulkah ucapan kampanyenya itu bukan sekedar ‘angin sorga’.

Maka apa yang sekiranya dapat dilakukan? Mungkin para paslon dan timnya perlu lebih rendah hati tanpa mati semangat. Kedepankanlah akal budi . Kata budi disini mengandung sisi etika. Mampu membedakan mana yang baik dan mana yang keji, dan memilih yang pertama.

Memang ada yang berpendapat kita ini hidup di sebuah dunia yang rusak. Penulis Perancis, Gabriel Marcel, tahun 1933, dalam karya pentasnya Le Monde Casse (Dunia yang Rusak) menyebut dunia yang rusak seperti arloji yang macet. Dalam pandangan Marcel, kenapa ia menyebut dunia ibarat sebuah ‘arloji macet’. Karena, semua elemen berada di tempatnya, tapi jika kita lekatkan arloji itu kuping, kita tak akan mendengar suara berdetik.

Begitu pula dalam hiruk pikuk tahun politik ini. Aturan dan larangan sudah jelas, lembaga pelaksana dan pengawas pun sudah ada tempatnya, tapi itu tidak menjamin pelanggaran dalam kampanye nihil. Karena itu, kampanye atau pilkada jangan terjebak dalam prosedural tapi kehilangan vitalitas, semangat untuk berkontestasi dengan jujur dan adil. Tidak sekadar hanya memenuhi “lembaran-lembaran dokumen resmi”. Seharusnya bagaimana ada pendidikan politik yang menjadikan rakyat sebagai subjek bukan objek.

Rakyat tidak sekedar digiring atau diarahkan ke suatu “pilihan”, tapi dalam prosesnya menumbuhkan bibit-bibit perpecahan sosial malah bukan tidak mungkin menggoyahkan sendi-sendi NKRI. Rakyat hanya dilirik ketika datang musim kampanye, tanpa mau dan mampu menyelami wilayah batinnya, apa sejatinya yang dibutuhkan dan diharapkannya.

Adakah partai dan paslon juga mau menggelar pendidikan politik dalam pilkada ini. Kembali ke prinsip awal bahwa kedaulatan itu di tangan rakyat. Itu bukan abstrak. Para paslon mau melebur diri tanpa mengambil jarak baik ketika masa kampanye maupun kelak bila sudah terpilih. Ada niat yang kuat untuk meringankan beban yang berada di pundak rakyat. Betul-betul ada tawaran positif atau alternatif yang bukan asal bunyi sehingga rakyat merasa “hidup”, bukan sebagai “bekas hidup”, untuk dikuasai. Masalahnya tidak diurai dan dipecahkan.

Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang bersih dan berkualitas dari pilkada ini. Tentu kalau pilkadanya berjalan bersih dan berkualitas. Dua ahli ekonomi, Prof. Daron Acemoglu dari Massachusettes Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, dan Prof, James A. Robison dari Universitas Havard, Amerika Serikat, menulis bersama buku berjudul Why Nations Fail: the Origins of Power, Prosperity and Poverty terbit tahun 2012 yang menjelaskan mengapa suatu bangsa maju dan bangsa lain mundur, terpuruk, merana, atau tidak berkembang.

Buku itu merupakan hasil penelitian selama 15 tahun mengenai sejarah politik dan sejarah ekonomi selama 400-500 tahun berbagai negara di lima benua. Hasil temuannya antara lain negara yang maju adalah mampu membangun institusi ekonomi dan institusi politik. Pilkada ini masuk dalam bagian institusi politik sehingga kelak melahirkan pemimpin yang mampu memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia (antara lain baik kekayaan alam, sosial, dan budaya) untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena itu, tepat sekali ajakan Bawaslu kepada ormas-ormas Islam untuk bersama-sama membentuk “Gerakan Bersama Pilkada Bersih”. Semoga pilkada mendatang melahirkan pemimpin yang bersih dan berkualitas.

Dr. H. Iskandar Siregar M.Si
Ketua DPP LDII/ Wakil Pemimpin Redaksi Nuansa

Sumber : DPP LDII PUSAT

Please follow and like us:
error1
fb-share-icon20
Tweet 20
fb-share-icon20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top