Oleh: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Ada dua pertanyaan sederhana tentang keseharian yang tak terduga. Karena berasal dari masalah yang umum orang alami, tetapi tidak pernah terpikirkan untuk ditanyakan. Akibatnya seolah susah jawabannya. Selain itu juga banyak yang menganggap itu hal biasa, sebagai bagian dari proses kehidupan. Dengan kata lain, seolah ingin mengatakan untuk apa dipikirkan. Biarkan saja, tidak usah dijawab, memang sudah begitu kodratinya.
Pertanyaan pertama, “Mengapa semakin tua, mata semakin terampil melihat yang jauh?” Orang bilang rabun dekat. Ini tantangan para manusia paruh baya. Memang ada juga yang masih memiliki kualitas mata sempurna sampai usia senja, namun hanya terbatas jumlahnya. Yang banyak harus disambung dengan kaca mata plus, untuk sekadar membantu membaca. Sahabat penekun kehidupan, ia adalah pertanda bahwa sudah saatnya untuk melihat yang jauh-jauh, bahkan sampai jauh di luar urusan dunia. Ia bermaksud menuntun, seiring umur, mengingatkan segera menyiapkan kehidupan yang indah di alam yang jauh dan kekal di luar sana (akhirat). Bukan ngurusi yang dekat terus (dunia) yang akan ditinggalkan. Bagi penekun kehidupan sadar yang dekat, ya sudah dinikmati dan disyukuri saja, apa adanya. Pergunakan sebaik-baiknya untuk persediaan menuju akhirat. Sayangnya, sedikit yang merasakan bahwa itu adalah pertanda untuk menyiapkan kehidupan indah nan jauh di depan sana. Padahal nasehat tua sudah mengingatkan, pentingnya bersiap akan hal ini. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18).
Mendukung hal ini, mari barokahkan dan maksimalkan sisa umur yang ada. Jangan suka menunggu dan menunda, jika terkait dengan kebaikan dan keberkahan. Ingatlah wasiat tua berikut.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلاً، قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ ” مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ” . قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ ” مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ ” . قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari Bapaknya, sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya; “Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?”, tanya laki-laki tadi. Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 2330).
Pertanyaan kedua; “Kenapa wanita kalau dicium matanya terpejam?” Ini pertanyaan banyak remaja pria atau yang sedang jatuh cinta. Bukan saja bisa dilihat di film-film, di kehidupan nyata pun sama, mata terpejam ketika dicium. Banyak yang terhenyak. Maaf ini bukan ajakan untuk asusila, tapi sebuah kontemplasi dari hal-hal yang sederhana, untuk menemukan makna indahnya. Sahabat penekun kehidupan, ia bukan sekedar ekspresi kebahagian saja. Bagi setiap sahabat yang sudah mendalam mengerti, keindahan yang sesungguhnya memang ada di dalam. Oleh karena itu mata terpejam. Tak pelu melihat yang di luar. Keindahan di luar hanya pantulan dari keindahan harmoni yang ada di dalam. Sedihnya, sangat sedikit manusia di zaman sekarang yang bisa berjumpa keindahan seperti ini.
Jadi, ada dua keindahan pada dasarnya, yang satu di dalam dan satu lagi di luar. Setiap sahabat pasti ingin mendapatkan keduanya. Indah di dalam dan juga indah di luar sana. Dan syaratnya, kita akan mendapatkan keindahan di luar, jika sudah berhasil menciptakan keindahan di dalam. Mustahil, indah di luar, tapi tidak indah di dalam. Dalam bahasa doa sering kita lantunkan;
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah berikanlah kami kehidupan dunia yang baik (indah) dan kehidupan akhirat yang baik (indah) dan jauhkan dari api neraka.”
Sayangnya masih banyak manusia yang belum menemukan keindahan yang dekat di dalam diri. Banyak yang harus menempuh jalan panjang, bertempur dengan dirinya dan hidupnya untuk sekedar mendapatkan kebahagian dan kedamaian. Ini yang menjelaskan mengapa rumah sakit jiwa penuh, rumah sakit umum kebanjiran pasien, korban narkoba terus merangkak menanjak. Belum angka perceraian yang melonjak, konsumsi pil tidur meningkat dan cerita bunuh diri yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Sangat menyentuh hati. Ringkasnya, sangat jarang ada manusia yang bisa diajak menemukan harmoni di dalam diri. Keindahan di dalam terasa jauh, dalam dan gelap sekali. Dalam masalah ini, Sang Guru Bijak pernah berpesan; “Seberat-berat perjalanan, adalah perjalanan masuk ke dalam hati diri sendiri.”
Ada banyak sekali benih-benih kekerasan yang tertanam menghadang menuju perjalanan ke dalam batin manusia. Keluarga, sekolah, pemimpin, masyarakat menanam banyak sekali benih-benih kekerasan sepanjang jalan ke dalam batin. Hasilnya keindahan di dalam semakin kabur, jauh tenggelam. Dengan pendekatan tersenyum sabar pada benih-benih kekerasan di dalam diri, tidak bereaksi dalam ucapan dan tindakan (diam – istirja), seseorang sedang menyibak jalan indah ke dalam. Berikutnya, menjumpai orang-orang yang mendukung perjalanan kedamaian Anda akan semakin membuat lebar jalan ke dalam. Setiap kali ada memori kekerasan muncul, seseorang disarankan tersenyum pada memori buruk, kemudian tidak bereaksi baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan. Sadari pikiran sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran. Sadari perasaan sebagai perasaan, bukan sebagai diri Anda. Demikianlah cara menyembuhkan banyak luka jiwa, mendekatkan jalan kedamaian. Ia yang tekun berlatih, suatu hari akan mengalami kesembuhan, membuka jalan kedamaian dan menemukannya keindahan dekat di dalam sana. Imbasnya tidak akan diseret oleh hawa panas kehidupan yang membanjir di mana-mana.
Untuk kesempurnaan menemukan keindahan di dalam, yang diperlukan adalah ketekunan untuk menyaksikan tanpa memilih (choiceless awareness). Menerima segala pemberian Allah dengan ridha. Lihatlah sifat alami kehidupan. Semua ada hukumnya. Pohon rindang mengundang datangnya burung-burung. Bunga-bunga mekar mengundang datangnya kupu-kupu. Dan seburuk atau seindah apa pun keseharian, semuanya muncul kemudian menghilang. Siang hilang, malam datang dan seterusnya. Sang Guru Bijak berpesan dalam hal ini, mengutip penegasan Imam Al-Hasan Al-Bashri,
المؤْمِنُ فِي الدُّنْيَا كَالغَرِيْبِ لاَ يَجْزَع مِنْ ذُلِّهَا ، وَلاَ يُنَافِسُ فِي عِزِّهَا ، لَهُ شَأْنٌ ، وَلِلنَّاسِ شَأْنٌ
“Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam).
Setelah menyatu dengan keseharian spiritualitatif seperti ini, kehidupan akan berwajah rindang. Indah, sejuk dan damai. Wajah kehidupan bertransformasi menjadi nyanyian harmoni. Ini yang memungkinkan seseorang menemukan keindahan sesungguhnya yang dekat di dalam dan menyiapkan kehidupan indah yang jauh di luar sana. Sebagian sahabat menyebut kehidupan ini sebagai ciuman kedamaian (hayyatan thoyyibah), mena’wilkan firman Allah;
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97).
Dengan dua pertanyaan ini, Alhamdulillah kita diingatkan dari sebuah ciuman menuju jalan bersyukur untuk mendapatkan kembali kedamaian yang dekat di dalam dan yang jauh di depan sana. Walau dalam pencapaiannya, ternyata semuanya terasa jauh, jauh dan jauh.