Jakarta (22/6). Memasuki abad 21 persoalan bangsa kian kompleks. Globalisasi membawa beragam ideologi transnasional langsung kepada individu melalui gawai. Di dalam negeri, kemakmuran mendorong perubahan gaya hidup yang memuja materi secara berlebihan. Sementara, kemiskinan memungkinkan seseorang memilih jalan radikalisme sebagai pembebasan beban hidup.
“Berbagai persoalan ini harus disikapi umat Islam dengan menghidupkan kembali tugas pemuka pendapat (opinion leader) dan penjaga gerbang (gatekeeper) informasi, untuk merawat dan membina umat secara langsung. Dua tugas itu bisa diemban sekaligus oleh para juru dakwah,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Meningkatkan mutu juru dakwah atau muballigh-muballighoh menjadi strategis saat ini. Menurut KH Chriswanto Santoso, para juru dakwah harus terus meningkatkan kompetensinya di bidang agama, sekaligus bagaimana menyampaikan ayat-ayat Alquran dan Alhadist serta ijma’ para ulama, “Mereka harus terampil dan menyentuh kesadaran umat Islam, agar umat selalu tercerahkan dan mendapatkan solusi atas problematika kebangsaan,” ujar KH Chriswanto.
Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, para juru dakwah harus memahami bagaimana moderasi beragama, “Perbedaan itu keniscayaan dalam Islam, namun setiap golongan harus memiliki ruang untuk saling menghargai, menghormati, dan toleransi,” tutur KH Chriswanto. Dakwah saat ini, menuntut para juru dakwah memanfaatkan teknologi informasi sebagai media penyampaian nasehat agama.
Selain itu, mereka harus terus meningkatkan ilmu pengetahuan di samping ilmu agama, “Masalah ekonomi, politik, sosial, dan budaya kerap membuat umat salah arah, bahkan terpecah belah. Mereka membutuhkan nasehat yang mencerahkan sekaligus menyejukkan,” tukas KH Chriswanto.
Senada dengan KH Chrsiwanto Santoso, Gubernur Jawa Timur Chofifah Indar Parawansa menyoroti strategisnya digitalisasi dakwah. Menurut Khofifah, Indonesia yang begitu luas dan jumlah penduduknya banyak. “Kita harus bergandeng tangan untuk meramut umat. Banyak hal yang harus kita lakukan,” jelasnya.
Khofifah mengutip surat An-Nahl ayat 125. Ada tiga kaidah dalam berdakwah yaitu dengan hikmah, mau’izah al hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah (mendebat dengan cara yang baik). Menurut Khofifah, hoax, bully dan ujaran kebencian yang kerap muncul menyebabkannya menjadi tidak hikmah. Sekarang ini mencari mau’izah al hasanah yang juga bisa diteladani tidaklah mudah. “Tiga kaidah itu harus diintegrasikan dalam digital, maka semua di antara kita harus beradaptasi dengan percepatan perubahan teknologi informasi,” ujarnya saat membuka acara “Diklat Dai” yang dilaksanakan DPW LDII Jawa Timur pada Sabtu (18/6).
Menurut Khofifah proses mujadalah banyak berlangsung di wilayah media sosial, “Digitalisasi bidang dakwah itu PR kita bersama,” tegasnya. Berdakwah bagi Khofifah membutuhkan adaptasi. “Kita harus bangun lompatan-lompatan adaptasi termasuk pengelolaan organisasi dan di dalamnya ada dakwah,” jelasnya.
Khofifah kembali mengutip surat Attaubah ayat 122 yang menyebut tentang tafakufidin (memperdalam pengetahuan mereka tentang agama) dan liyunndiru qoumahum (untuk memberi peringatan kepada kaumnya). “Disini tugas kita sebagai dai-daiah itu adalah bagian dari liyunndiru qoumahum, masyarakat harus mendapat pendamping, pembinaan, dan panduan dalam bentuk apapun,” tegasnya. (kim/*)